Pengertian Phobia
Phobia
adalah ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda-benda atau
situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar
pada kenyataan. Istilah “phobia” berasal dari kata “phobi” yang artinya
ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan
dialami oleh sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh
ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi
tertentu.
Walaupun
ada ratusan macam phobia tetapi pada dasarnya phobia-phobia tersebut merupakan
bagian dari 3 jenis phobia, yang menurut buku DSM-IV (Diagnostic and
Statistical Manual for Mental Disorder IV) ketiga jenis phobia itu adalah:
1.
Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan tertentu)
seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.
2.
Phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) seperti takut jadi
pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
3.
Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka misalnya
di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.
Penyebab Phobia
Phobia
dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada umumnya phobia disebabkan karena
pernah mengalami ketakutan yang hebat atau pengalaman pribadi yang disertai
perasaan malu atau bersalah yang semuanya kemudian ditekan kedalam alam bawah
sadar. Peristiwa traumatis di masa kecil dianggap sebagai salah satu
kemungkinan penyebab terjadinya phobia.
Lalu
bagaimana menjelaskan tentang orang yang takut akan sesuatu walaupun tidak
pernah mengalami trauma pada masa kecilnya? Martin Seligman di dalam teorinya
yang dikenal dengan istilah biological preparedness mengatakan ketakutan yang
menjangkiti tergantung dari relevansinya sang stimulus terhadap nenek moyang
atau sejarah evolusi manusia, atau dengan kata lain ketakutan tersebut
disebabkan oleh faktor keturunan. Misalnya, mereka yang takut kepada beruang,
nenek moyangnya pada waktu masih hidup di dalam gua, pernah diterkam dan hampir
dimakan beruang, tapi selamat, sehingga dapat menghasilkan kita sebagai
keturunannya. Seligman berkata bahwa kita sudah disiapkan oleh sejarah evolusi
kita untuk takut terhadap sesuatu yang dapat mengancam survival kita.
Pada
kasus phobia yang lebih parah, gejala anxiety neurosa menyertai penderita
tersebut. Si penderita akan terus menerus dalam keadaan phobia walaupun tidak
ada rangsangan yang spesifik. Selalu ada saja yang membuat phobia-nya timbul
kembali, misalnya thanatophobia (takut mati), dll.
Perlu
kita ketahui bahwa phobia sering disebabkan oleh faktor keturunan, lingkungan
dan budaya. Perubahan-perubahan yang terjadi diberbagai bidang sering tidak
seiring dengan laju perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti dinamika dan
mobilisasi sosial yang sangat cepat naiknya, antara lain pengaruh pembangunan
dalam segala bidang dan pengaruh modernisasi, globalisasi, serta kemajuan dalam
era informasi. Dalam kenyataannya perubahan-perubahan yang terjadi ini masih terlalu
sedikit menjamah anak-anak sampai remaja. Seharusnya kualitas perubahan
anak-anak melalui proses bertumbuh dan berkembangnya harus diperhatikan sejak
dini khususnya ketika masih dalam periode pembentukan (formative period) tipe
kepribadian dasar (basic personality type). Ini untuk memperoleh generasi
penerus yang berkualitas.
Berbagai
ciri kepribadian/karakterologis perlu mendapat perhatian khusus bagaimana
lingkungan hidup memungkinkan terjadinya proses pertumbuhan yang baik dan
bagaimana lingkungan hidup dengan sumber rangsangannya memberikan yang terbaik
bagi perkembangan anak, khususnya dalam keluarga.
Berbagai
hal yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, peranan orang tua, meliputi tokoh
ibu dan ayah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, masih sering kabur,
samar-samar. Sampai saat ini masih belum jelas mengenai ciri khusus pola asuh
(rearing practice) yang ideal bagi anak. Seperti umur berapa seorang anak
sebaiknya mulai diajarkan membaca, menulis, sesuai dengan kematangan secara
umum dan tidak memaksakan. Tujuan mendidik, menumbuhkan dan memperkembangkan
anak adalah agar ketika dewasa dapat menunjukan adanya gambaran dan kualitas
kepribadian yang matang (mature, wel-integrated) dan produktif baik bagi
dirinya, keluarga maupun seluruh masyarakat. Peranan dan tanggung jawab orang
tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah teramat penting.
Contoh Kasus
Andri
adalah murid salah satu sekolah dasar di Semarang, ia memiliki masalah
ketidakmampuan menjalin hubunga sosial yang baik dengan teman sebayanya
dikarenakan terlalu banyak bermain game online. Semakin berjalannya waktu dan
ketidakmampuan Andri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, masalah Andri
ini menjadi meluas. Tidak hanya dengan teman-teman sebayanya tetapi juga dengan
guru-guru pengajar.
Yang
menjadi perhatian adalah ketika Andri berbicara dengan orang lain. Tidak
terfokus dengan lawan bicara, hanya tersenyum-senyum sambil menggerakkan
kepalanya dengan hitungan patah-patah seperti boneka kayu yang kaku dan
pandangan kosong lurus ke depan. Hitungan fokus untuk menatap lawan bicara
hanya kurang dari 6 detik dan fokus pada topik pembicaraan hanya kurang dari 9
detik. Pola seperti ini, terulang terus menerus ketika Andri dihadapkan pada
situasi yang mengharuskan dia untuk berkomunikasi dengan dua orang atau lebih.
Pola
yang terulang terus-menerus setiap kali berbicara dengan Andri,membuat
teman-teman sekelasnya menjauhi Andri. Bahkan ada seorang guru yang membentak
Andri dengan menggunakan kata “gendheng dan autis.” Masalah baru muncul. Andri
tidak hadir di sekolah sampai hampir 1 minggu. Menurut pengakuan ibunya, setiap
disuruh berangkat ke sekolah, badan Andri mendadak panas dan kakinya dingin
yang disertai dengan diare. Empat surat izin tidak masuk karena sakit dari orang
tua Andri, terdapat diatas meja kerja guru. Tiga kali diperiksakan ke dokter
oleh orang tuanya, tidak diketahui adanya penyakit berbahaya. Menurut analisa
dokter, sakitnya Andri dikarenakan Andri mengalami stres berat dan ketakutan
akan sesuatu. Kepada ibunya, Andri bercerita kalau dia takut berhadapan dengan
guru yang mengatakan dia gendheng dan autis. Sehingga membuat dia takut
berangkat ke sekolah.
Gejala
yang dialami oleh Andri, menunjukkan bahwa Andri terserang Phobia Sekolah.
Menurut Jacinta F. Rini, phobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi
terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak
pernah muncul atau pun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat atau pada
hari Minggu atau hari libur. Phobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh
setiap anak hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di
sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapi
suatu pengalandri yang tidak menyenangkan di sekolah.
Ada
beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria phobia sekolah, yaitu:
1.
Menolak untuk berangkat ke sekolah.
2. Mau
datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang
3. Pergi
ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan orang tua atau pengasuhnya,
atau menunjukkan tantrum-nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap
anak lainnya (memukul, menggigit, dsb.) atau pun menunjukkan sikap-sikap
melawan/menentang gurunya
4.
Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru
agar diijinkan pulang dan ini berlangsung selama periode tertentu.
5. Tidak
masuk sekolah selama beberapa hari.
6.
Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala,
pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau
keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia
diperbolehkan tinggal di rumah.
7.
Mengemukakan keluhan lain (diluar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah
berangkat ke sekolah.
8.
Senang berdiam diri di dalam kamar dan kurang mau bergaul .
Teknik Penyembuhan
Ada
beberapa teknik Untuk penyembuhan phobia diantaranya adalah sbb:
1.
Hypnotheraphy:
Penderita phobia diberi sugesti-sugesti untuk menghilangkan phobia.
2.
Flooding:
Exposure Treatment yang ekstrim. Si penderita phobia yang ngeri kepada anjing
(cynophobia), dimasukkan ke dalam ruangan dengan beberapa ekor anjing jinak,
sampai ia tidak ketakutan lagi.
3.
Desentisisasi
Sistematis: Dilakukan exposure bersifat ringan. Si penderita phobia yang takut
akan anjing disuruh rileks dan membayangkan berada ditempat cagar alam yang
indah dimana si penderita didatangi oleh anjing-anjing lucu dan jinak.
4.
Abreaksi:
Si penderita phobia yang takut pada anjing dibiasakan terlebih dahulu untuk
melihat gambar atau film tentang anjing, bila sudah dapat tenang baru kemudian
dilanjutkan dengan melihat objek yang sesungguhnya dari jauh dan semakin dekat
perlahan-lahan. Bila tidak ada halangan maka dapat dilanjutkan dengan memegang
anjing dan bila phobia-nya hilang mereka akan dapat bermain-main dengan anjing.
Memang sih bila phobia yang dikarenakan pengalaman traumatis lebih sulit
dihilangkan.
5.
Reframing:
Penderita phobia disuruh membayangkan kembali menuju masa lampau dimana
permulaannya si penderita mengalami phobia, ditempat itu dibentuk suatu manusia
baru yang tidak takut lagi pada phobia-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar